Mengenang Korps yang Gugur di Sungai Indragiri – Analisis Strategi Belanda dan Dampak Hilangnya Pilar Negara di Rengat 1949
I. Analisis Strategis: Target Pembunuhan Simbol Negara
Tragedi Rengat Berdarah pada 5 Januari 1949 tidak hanya brutal karena jumlah korban sipil yang mencapai ribuan, Bro. Kebrutalan ini terasa lebih tajam karena Belanda secara spesifik menargetkan pilar-pilar negara Republik Indonesia yang baru berdiri di wilayah Indragiri Hulu (Inhu). Fokus artikel ini adalah menganalisis gugurnya para pejabat tinggi, termasuk Bupati Tulus, Wedana Abdul Wahab, dan khususnya, Kepala Polisi wilayah Inhu, Iptu Korengkeng.
A. Kepolisian sebagai Benteng Pertahanan Sipil
Pada tahun 1949, Kepolisian Resor Indragiri Hulu (dulu bernama Komisaris Resort/Komres Indragiri) baru berdiri pasca-proklamasi 1945 dan dipimpin oleh Kompol Soedarno, sebelum tongkat komando jatuh ke Iptu Korengkeng menjelang Agresi Militer Belanda II. Peran polisi saat itu jauh melampaui sekadar penegak hukum. Mereka adalah garda terdepan pertahanan sipil dan simbol kehadiran negara Republik.
Analisis Strategis Belanda: Belanda tahu betul, untuk melumpuhkan semangat perlawanan, mereka tidak cukup hanya menembaki tentara bersenjata. Mereka harus menghancurkan sistem. Pembunuhan Iptu Korengkeng dan para polisi lainnya adalah strategi kejam untuk:
- Menciptakan Anarki: Tanpa Kepala Polisi, tanpa Markas Polisi (yang juga dibakar), dan tanpa personel, keamanan sipil di Rengat langsung lumpuh total. Belanda sengaja menciptakan anarki agar masyarakat panik dan kehilangan orientasi.
- Memutus Mata Rantai Komando: Polisi, bersama Kodim, adalah simpul komunikasi penting yang menghubungkan pusat perlawanan (walaupun saat itu Republik sedang terjepit). Menghabisi Iptu Korengkeng adalah cara efektif untuk memotong alur informasi dan strategi perlawanan yang mungkin sedang disusun.
- Pesan Jelas kepada Aparat: Eksekusi terhadap Bupati, Wedana, dan Kepala Polisi adalah ancaman keras bagi semua pejabat RI di daerah lain: "Jika kamu setia pada Republik, inilah akhirmu." Ini adalah bagian dari teror psikologis untuk memaksa pejabat lain menyerah atau melarikan diri.
Tindakan KST (Korps Speciale Troepen) yang kejam dan sistematis membuktikan bahwa serangan ke Rengat adalah operasi militer-politik yang bertujuan menghapus eksistensi Republik di Sumatra Tengah, bukan sekadar pertempuran biasa.
B. Kesetiaan Institusi yang Tertulis dengan Darah
Fakta bahwa para pejabat ini, termasuk Iptu Korengkeng, memilih tetap berada di Rengat saat serangan mendarat, menunjukkan tingkat kesetiaan institusional yang luar biasa. Mereka tahu risikonya. Mereka memilih berdiri di posisinya, bukan melarikan diri, sebuah sikap yang wajib dikenang sebagai teladan integritas dan patriotisme aparatur negara.
II. Dampak Jangka Panjang: Beban Memori dan Rekonsiliasi
Dampak dari gugurnya pimpinan sipil dan keamanan di Rengat ini terasa hingga hari ini, terutama dalam hal memori institusional dan pengakuan pahlawan.
A. Dampak pada Korps Kepolisian dan TNI
Bagi Kepolisian Resor Indragiri Hulu (Polres Inhu) dan Kodim 0302 Rengat, Rengat Berdarah adalah trauma pendiri. Ini adalah tanggal sakral yang melambangkan pengorbanan tertinggi yang dilakukan oleh korps mereka di daerah.
- Penguatan Budaya Korps: Peringatan Rengat Berdarah, termasuk upacara tahunan dan tabur bunga ke Sungai Indragiri (seperti yang dilakukan oleh Waka Polres Kompol Zulfa Renaldo dan jajaran lainnya), berfungsi sebagai ritual penguatan budaya korps. Itu mengingatkan setiap personel bahwa jabatan mereka dibangun di atas darah dan pengorbanan, bukan hanya gaji dan wewenang.
- Penghargaan yang Belum Tuntas: Meskipun nama-nama seperti Iptu Korengkeng dikenang di internal korps, rekognisi mereka di mata publik nasional seringkali masih terabaikan. Hal ini menciptakan beban memori yang harus terus diperjuangkan agar tidak tenggelam dalam sejarah umum.
B. Politik Memori dan Kebutuhan Rekonsiliasi
Tragedi ini mengajarkan kita tentang politik memori, Bro. Siapa yang dikenang dan bagaimana cara mengenangnya. Masyarakat sipil yang gugur mencapai ribuan, sedangkan nama pejabat yang dikenang hanya beberapa. Ini menciptakan tantangan dalam rekonsiliasi sejarah: bagaimana kita menghormati pahlawan institusi (Kepala Polisi, Bupati) tanpa melupakan ribuan warga sipil yang juga menjadi korban?
- Kebutuhan Daftar Korban Sipil: Salah satu dampak yang belum tuntas adalah pendataan ribuan korban sipil secara akurat. Meskipun angka 2.000 jiwa sering disebut, nama-nama individu sipil masih sulit ditemukan. Ini adalah pekerjaan rumah terbesar untuk mengakhiri beban memori tersebut.
III. Solusi Jangka Panjang: Mengabadikan Warisan Pengorbanan Iptu Korengkeng
Untuk memastikan pengorbanan aparatur negara seperti Iptu Korengkeng tidak sia-sia, kita harus mengabadikannya dalam solusi yang konkret dan jangka panjang, bukan hanya upacara tahunan.
A. Solusi Institusional: Integrasi Sejarah Korps
Polres Inhu dan Kodim 0302 Rengat harus menjadikan kisah 5 Januari 1949 sebagai bagian wajib dari orientasi dan pelatihan semua personel baru.
- Penamaan Fasilitas: Menggunakan nama Iptu Korengkeng (atau nama polisi lain yang gugur) sebagai nama Gedung Utama Polres, Ruang Rapat, atau Lapangan Upacara Kodim. Ini adalah cara paling efektif untuk mengabadikan warisan dan meneladankan ketegasan kepemimpinan bagi generasi muda.
- Sistem Pendidikan Kepolisian/TNI: Mengajukan proposal kepada institusi pusat agar kisah Rengat Berdarah dimasukkan ke dalam kurikulum sejarah Perjuangan Kepolisian/TNI di level nasional, sehingga pengorbanan mereka dikenal luas.
B. Solusi Edukasi dan Publikasi
Masyarakat umum, terutama generasi muda, harus mudah mengakses kisah ini. Solusinya adalah:
- Monumen dan Museum Digital: Mengembangkan museum digital atau aplikasi yang berisi biografi para pahlawan lokal seperti Bupati Tulus, Wedana Abdul Wahab, dan Iptu Korengkeng. Ini jauh lebih menarik dan mudah diakses daripada hanya tugu peringatan fisik.
- Kemitraan Pendidikan: Polres Inhu dan Pemda harus bekerja sama dengan Universitas Islam Riau (UIR) atau universitas lokal lain (seperti yang ditampilkan dalam drama musikal pada artikel sebelumnya) untuk membuat jurnal akademis atau publikasi sejarah yang mengupas tuntas tragedi ini, sehingga kisah ini memiliki landasan ilmiah yang kuat.
Pada akhirnya, Bro, mengenang 5 Januari 1949 adalah mengakui bahwa Negara Republik Indonesia, melalui korps kepolisian dan pemerintahannya, telah membayar harga yang sangat mahal di Rengat. Pengorbanan Iptu Korengkeng dan rekan-rekannya adalah bukti bahwa polisi adalah bagian integral dari perjuangan kemerdekaan, dan warisan itu harus terus menjadi obor bagi pelayanan publik yang berintegritas di Indragiri Hulu.

Posting Komentar
0 Komentar