Membangun Polisi Humanis, Analisis Dampak Bakti Sosial Sespimmen Polri dalam Mencetak Calon Pimpinan Masa Depan.
I. Analisis Awal: Lebih dari Sekadar Sembako Biasa
Coba kita bedah, Bro. Berita tentang Kompol Zulfa Renaldo, salah satu Peserta Didik Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah (Sespimmen) Polri Dikreg ke-62, yang bagi-bagi sembako di Lembang, Bandung Barat, ini sekilas terlihat sederhana. Ah, cuma kegiatan Bakti Sosial (Baksos) biasa. Tapi, kalau kita lihat lebih dalam, kegiatan ini jauh lebih strategis daripada sekadar menyerahkan bantuan. Ini adalah bagian dari Praktik Kerja Profesi (PKP).
Gini, Bro, Sespimmen itu sekolahnya para calon jenderal. Lulusannya nanti akan menduduki jabatan strategis, dari Kapolres, Kabag, sampai Dirjen. Mereka adalah orang-orang yang kelak akan memegang kunci kebijakan dan operasional kepolisian di seluruh Indonesia. Jadi, ketika kegiatan Baksos ini dimasukkan sebagai kurikulum wajib dalam PKP, itu artinya ada filosofi kepemimpinan yang sedang ditanamkan. Ini bukan kegiatan sampingan, Bro, tapi pembentukan karakter inti pemimpin Polri.
Menurutku, kegiatan Baksos ini adalah cerminan dari pergeseran filosofi Polri. Dulu, fokusnya mungkin hanya pada penegakan hukum (represif) dan keamanan (preventif). Sekarang? Ada penekanan kuat pada aspek humanisme dan kedekatan dengan masyarakat. Kompol Zulfa sendiri bilang, tujuannya adalah "kedekatan Polri dengan masyarakat." Di sinilah letak analisisnya: program ini adalah investasi jangka panjang Polri untuk memanusiakan institusinya di mata publik.
Aku bisa bilang, ini adalah "ujian lapangan" bagi para calon pimpinan. Mereka tidak hanya dites dalam teori manajemen krisis atau strategi taktis, tapi juga dalam kemampuan memimpin dengan empati. Seorang pemimpin Polri tidak boleh hanya berpikir "bagaimana menangkap penjahat," tapi juga "bagaimana memastikan masyarakat merasa aman dan terbantu." Baksos ini jadi tools nyata untuk mengasah soft skill tersebut.
Transisi Analisis ke Dampak: Pertanyaannya, apakah kegiatan yang singkat ini benar-benar bisa menciptakan dampak signifikan pada institusi Polri yang besar? Jawabannya ada pada bagaimana pengalaman PKP ini diinternalisasi oleh setiap individu, Bro.
II. Dampak Jangka Pendek: Mengikis Jarak, Menumbuhkan Kepercayaan
Dampak kegiatan Baksos yang dilakukan di Yayasan Alkautsar, Pesantren Almuhyidin, dan panti asuhan anak yatim ini bisa kita bagi jadi dua sisi:
A. Dampak pada Masyarakat Penerima (Penerima Bantuan)
Dampak langsungnya jelas, Bro: bantuan sembako adalah stock kebutuhan pokok yang sangat berharga. Kutipan dari ketua Yayasan Alkausar yang merasa senang dan bersyukur itu sudah cukup jadi bukti.
Tapi, dampak terbesar di sini adalah psikologis.
- Mengubah Stigma: Bagi sebagian masyarakat, polisi identik dengan penangkapan, razia, atau hal-hal yang kurang menyenangkan. Ketika yang datang adalah calon pimpinan polisi dengan membawa bantuan, stigma itu perlahan terkikis. Masyarakat melihat wajah Polri yang peduli dan melayani.
- Membangun Jembatan Kepercayaan: Kepercayaan adalah mata uang paling mahal dalam hubungan Polisi-Masyarakat (Polmas). Kedatangan Kompol Zulfa dan tim bukan hanya memberikan sembako, tapi juga pesan: Polisi itu dekat dan bisa diandalkan. Dalam jangka pendek, ini sangat vital untuk membangun citra positif di wilayah lokal Lembang.
- Dukungan Doa dan Moral: Ini mungkin terdengar spiritual, tapi dukungan moral dan doa dari komunitas agama (Pesantren dan Yayasan) untuk institusi yang menolong mereka adalah dampak non-materi yang kuat.
B. Dampak pada Peserta Didik (Kompol Zulfa Renaldo dkk.)
Inilah bagian PKP yang paling krusial. Pengalaman langsung ini memberikan para calon pemimpin:
- Perspektif Realitas: Mereka yang sudah terbiasa dengan lingkungan kerja struktural dan formal tiba-tiba dihadapkan pada realitas kemiskinan dan kebutuhan sosial. Ini adalah dosis kenyataan yang penting agar mereka tidak "terpisah" dari masyarakat saat sudah menjabat tinggi.
- Mengasah Emotional Intelligence: Kepemimpinan modern tidak hanya butuh kecerdasan intelektual (IQ) tapi juga kecerdasan emosional (EQ). Berinteraksi langsung dengan panti asuhan atau yayasan memaksa mereka menggunakan empati dan komunikasi yang lembut, bukan komando. Ini adalah latihan kepemimpinan yang jauh lebih dalam daripada simulasi di kelas.
- Membentuk Pola Pikir Problem-Solver: Setelah melihat langsung masalah sosial, saat mereka kembali ke institusi, mereka akan cenderung memasukkan perspektif sosial dalam setiap kebijakan yang mereka ambil. Mereka tidak akan melihat masalah hanya dari sudut pandang kriminalitas, tetapi juga dari sudut pandang penyebab masalah sosial.
III. Solusi Jangka Panjang: Menginternalisasi Humanisme dalam Kepemimpinan Polri
Jika kegiatan Baksos seperti ini terus menjadi bagian tak terpisahkan dari kurikulum Sespimmen, maka ini adalah solusi struktural untuk menciptakan Polri yang lebih humanis di masa depan. Aku melihat ada tiga solusi utama yang bisa didorong dari analisis dampak di atas:
A. Solusi Kurikulum: Transformasi Pelatihan Kepemimpinan
Pelatihan di Sespimmen harus memastikan bahwa kegiatan Baksos dan Polmas ini dinilai secara serius, bukan sekadar formalitas. Solusinya adalah:
- Integrasi Laporan Kualitatif: Penilaian PKP tidak hanya didasarkan pada jumlah sembako yang dibagikan, tapi pada laporan kualitatif mendalam tentang interaksi, masalah sosial yang mereka temukan, dan solusi kebijakan yang mereka usulkan untuk mengatasi masalah tersebut. Misalnya, bagaimana polisi bisa bersinergi dengan Dinas Sosial untuk mengatasi masalah panti asuhan yang mereka kunjungi.
- "Humanis Scorecard": Perlu ada semacam metrik *soft skill* atau "Humanis Scorecard" dalam penilaian akhir Sespimmen. Metrik ini mengukur kemampuan calon pimpinan dalam berempati, berkomunikasi publik, dan mengintegrasikan kebijakan sosial dalam tugas kepolisian sehari-hari.
- Pendekatan Multidisiplin: Solusi kepemimpinan Polri masa depan harus melibatkan ilmu sosiologi, psikologi, dan komunikasi publik, bukan hanya ilmu hukum. Kegiatan PKP harus didampingi oleh ahli di bidang-bidang ini untuk memberikan *feedback* yang utuh kepada para peserta didik.
B. Solusi Operasional: Jaring Pengaman Komunitas
Setelah lulus dan menjabat, para alumni Sespimmen ini bisa menerapkan pelajaran dari Baksos:
- Sistem Quick Response Sosial: Mendorong setiap unit di bawahnya (terutama Bhabinkamtibmas) untuk tidak hanya fokus pada laporan kriminal, tetapi juga pada laporan kesulitan sosial. Anggota Polisi harus menjadi *early warning system* bagi pemerintah daerah untuk masalah kelaparan, kemiskinan, atau bencana.
- Program Baksos Mandiri Institusi: Menginternalisasi kegiatan Baksos dari kurikulum menjadi budaya institusi. Setiap Polsek, Polres, atau Polda memiliki program Baksos rutin yang didanai secara internal atau sinergi dengan BUMN/Swasta. Ini bukan hanya pencitraan, tapi kewajiban moral yang dianut oleh semua pimpinan yang notabene adalah alumni Sespimmen.
C. Solusi Reputasi: Pemulihan Citra Polri
Di tengah sorotan publik yang tajam, solusi paling mendesak adalah pemulihan citra. Kegiatan seperti yang dilakukan Kompol Zulfa ini adalah strategi komunikasi publik terbaik:
- Tidak perlu iklan mahal. Cukup tunjukkan secara konsisten bahwa Polri adalah *human*.
- Ketika ribuan alumni Sespimmen melakukan hal serupa di seluruh Indonesia, efek kumulatifnya akan mengubah pandangan masyarakat dari "Polisi menakutkan" menjadi "Polisi Penolong". Ini adalah dampak politik dan sosial paling besar.
Aku yakin, Bro, Kompol Zulfa dan rekan-rekannya di Sespimmen sedang dipersiapkan untuk membawa perubahan ini. Pengalaman membagi sembako itu adalah fondasi kecil yang kelak akan menentukan bagaimana mereka memimpin ribuan personel dan jutaan masyarakat.

Posting Komentar
0 Komentar