PT NHR: Direktur Mangkir Panggilan Disnaker, Kasus Gaji Berdarah

Bongkar Habis! Analisis Konflik Berdarah PT NHR: Ketika Gaji dan Pesangon Ditukar Guling dengan Sertifikat Tanah

Bro, kita balik lagi ke ring tinju PT Nikmat Halona Reksa (NHR) di Riau. Drama konflik internal antara mantan Direktur, Hendry Wijaya, dengan Direktur yang menjabat, Johan Kosaidi, ini ternyata makin panas. Ini nunjukin betapa ruwetnya masalah ini, apalagi setelah Disnaker Provinsi Riau terlihat kembang kempis alias lamban dalam mengambil keputusan tegas. Kasus ini bukan cuma soal duit, tapi udah jadi drama tarik-ulur kekuasaan yang melibatkan hak-hak pekerja, akta notaris, sampai urusan sertifikat tanah pribadi. Ini jelas nggak beres!


Kenapa Disnaker Terjebak dan Konflik Makin Ruwet?

1. Dilema Disnaker: Ranah Ketenagakerjaan vs. Ranah Perdata

Poin paling krusial di artikel ini adalah ketika Kadis Tenaga Kerja Riau, Imron Rosidi, mengatakan bahwa perkara pesangon Hendry Wijaya sebagai mantan direktur bukan ranah Disnaker, melainkan masuk kategori Wanprestasi yang sudah tertuang dalam RUPS dan Akta Notaris. Aku harus challenge ini, Bro, karena ini inti dari kemacetan kasus.

  • Analisis Hukum Konflik Direksi: Disnaker benar, tapi setengah benar. Perkara pesangon direktur memang sering dianggap sengketa perdata (Wanprestasi) antara pemegang saham/perusahaan dengan direktur, apalagi kalau sudah ada kesepakatan dalam RUPS dan Akta Notaris. Disnaker (yang fokus ke hubungan industrial) memang nggak punya kewenangan penuh untuk mengeksekusi Akta Notaris.
  • Titik Perselisihan: Namun, Disnaker nggak bisa cuci tangan sepenuhnya. Masalahnya bergeser ketika PT NHR menjadikan penyerahan sertifikat tanah pribadi Hendry Wijaya sebagai syarat pembayaran pesangon. Ini adalah taktik pengalihan isu dan pemerasan (secara bisnis) yang nggak ada hubungannya dengan kewajiban pesangon. Disnaker seharusnya fokus memfasilitasi penyelesaian pembayaran sesuai Akta, dan menolak intervensi persyaratan di luar kesepakatan itu.
  • Kasus Ganda yang Bikin Ribet: Disnaker juga harus menghadapi kasus Irianto Wijaya (anak Hendry) yang jelas-jelas masalah upah dan THR buruh. Kasus Irianto ini murni ranah Disnaker dan harusnya bisa diselesaikan cepat. Tapi karena kedua kasus ini melibatkan pihak yang sama (keluarga Wijaya vs. Johan Kosaidi), prosesnya jadi tercampur aduk dan lamban.

2. Pembangkangan Direktur dan Dugaan Pelanggaran Berlapis

Kuasa hukum Hendry Wijaya, Hasfiandi SH, dengan tegas menyoroti ketidakpatuhan Direktur PT NHR, Johan Kosaidi. Ini adalah analisis paling pedas yang bisa kita tarik dari artikel ini:

  • Menghalangi Penyidikan (Pasal 6 UU 3/1951 dan Pasal 185 UU Cipta Kerja): Poin ini sangat kuat. Jika Johan Kosaidi dipanggil resmi berkali-kali oleh Disnaker (untuk kasus upah Irianto) dan terus mangkir, ini bisa dikategorikan menghalangi proses penyidikan. Kuasa hukum sudah benar menyebut Pasal 185 ayat (1) UU Cipta Kerja yang ancaman pidananya penjara 4 tahun dan denda Rp 400 juta. Ini adalah tindak pidana kejahatan.
  • Pengabaian Hak Buruh: Gaji (Upah) dan THR Irianto Wijaya tidak dibayar sejak September, padahal sudah naik ke tahap penyidikan 351. Ini adalah bukti nyata ketidakpedulian korporasi terhadap hak dasar buruh. Pengabaian ini semakin memperkuat dugaan pelanggaran hukum oleh Direktur.

Keengganan Johan Kosaidi hadir di panggilan Disnaker jelas menunjukkan sikap tidak menghargai institusi negara dan meremehkan proses hukum. Ini adalah praktik buruk yang harus ditindak tegas agar tidak menjadi preseden bagi perusahaan lain.

3. Fenomena 'Saling Lempar' di Internal Disnaker

Ketika awak media mencoba konfirmasi, yang terjadi adalah fenomena saling lempar tanggung jawab. Kepala Dinas (Imron Rosidi) mengarahkan ke Kabid Pengawasan, sementara Kabid Pengawasan (Faisal) mengarahkan kembali ke Pimpinan. Bahkan Kadis sempat menjawab dengan nada kesal.

  • Dampak Negatif: Sikap ini memunculkan dugaan kongkalikong atau penyembunyian informasi. Sikap defensif dan tidak transparan dari pejabat publik hanya akan merusak kepercayaan masyarakat dan memperkuat sinyalemen Disnaker kurang tegas.
  • Kelemahan Struktural: Saling lempar ini juga menunjukkan kelemahan koordinasi dan komunikasi di internal Disnaker. Harusnya, pimpinan mampu memberikan garis besar kasus, sementara Kabid Pengawasan memberikan detail teknis, bukan malah melempar semua tanggung jawab.

Mengurai Benang Kusut dan Penyelamatan Integritas

Dampak dari kasus yang berlarut-larut ini sangat multidimensi, Bro. Mulai dari kerugian finansial para korban, hingga kerusakan institusional.

1. Dampak Keadilan dan Waktu

  • Korban Keuangan dan Psikologis: Hendry Wijaya kehilangan pesangon yang disepakati, sementara Irianto Wijaya kehilangan upah dan THR yang vital untuk hidup. Ini bukan cuma kerugian materi, tapi juga pukulan psikologis yang merusak kehidupan mereka.
  • Preseden Buruk: Kelambanan Disnaker dan pembangkangan Direktur PT NHR menciptakan preseden buruk di Riau. Pengusaha lain bisa berpikir, "Kalau PT NHR bisa mangkir, kita juga bisa." Ini merusak iklim kepatuhan hukum ketenagakerjaan secara keseluruhan.

2. Solusi Aksi Tegas dan Laporan ke Jenjang Lebih Tinggi

Kuasa hukum sudah punya langkah yang tepat dan harus didukung: melaporkan Disnaker Provinsi Riau ke Ombudsman, Kemenaker, dan Komisi IX DPR RI. Ini adalah solusi paling efektif untuk mendesak penyelesaian:

  • Peran Ombudsman: Ombudsman bertugas mengawasi pelayanan publik. Laporan ini akan memaksa Disnaker menjelaskan mengapa proses pengawasan dan penyidikan terhadap Direktur yang mangkir berjalan lamban dan mengapa mereka menolak mengurusi kasus yang sudah jelas terikat Akta Notaris.
  • Peran Kemenaker dan DPR RI: Laporan ini akan membuat kasus ini menjadi perhatian nasional. Kemenaker bisa memerintahkan inspektur jenderal (Irjen) untuk mengaudit kinerja Disnaker Riau, dan DPR RI (Komisi IX) bisa memanggil pimpinan Disnaker untuk dimintai pertanggungjawaban. Tekanan dari pusat adalah kunci untuk menggerakkan birokrasi daerah yang macet.

3. Solusi Pemisahan dan Eksekusi Kasus

Disnaker harus segera memisahkan dua kasus ini dan bertindak tegas pada kasus yang jelas ranahnya:

  • Eksekusi Kasus Buruh (Irianto): Karena sudah masuk penyidikan 351 dan Direktur mangkir, Disnaker harus segera melimpahkan berkas ke Kejaksaan untuk diproses pidana. Ini adalah cara paling cepat untuk memberikan efek jera dan memaksa perusahaan membayar upah dan THR yang tertunggak.
  • Mediasi Kasus Direktur (Hendry): Disnaker harus mendorong mediasi yang fokus pada pemenuhan kesepakatan RUPS/Akta Notaris (pembayaran Rp 1,3 M), dan secara tegas menolak syarat pengalihan aset pribadi (surat tanah) karena itu di luar konteks hubungan kerja. Jika mentok, biarkan Hendry Wijaya membawa sengketa Akta Notaris ini ke ranah Perdata di Pengadilan. Namun, tanggung jawab pidana Johan Kosaidi (menghalangi penyidikan) harus tetap jalan.

Pada akhirnya, kasus PT NHR ini adalah ujian integritas bagi penegakan hukum ketenagakerjaan di Riau. Negara, melalui Disnaker, harus berdiri tegak membela hak pekerja, termasuk buruh seperti Irianto Wijaya, dan menindak tegas Direktur yang berani mengangkangi Undang-Undang. Tidak ada tempat bagi kongkalikong atau keragu-raguan ketika hak-hak dasar manusia dipertaruhkan. Langkah Hendry Wijaya membawa kasus ini ke jenjang yang lebih tinggi adalah langkah tepat untuk mencari keadilan yang mandek.